Hampir satu abad lebih sudah
kebangkitan nasional diserukan oleh para pemuda di Indonesia, sudah banyak
sekali perubahan yang bisa kita rasakan semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945
hingga sekarang. Pendidikan kita semakin berkembang sesuai perkembangan zaman. Diberlakukannya aturan wajib belajar 9-12
tahun, dan tidak luput pula dari pembaharuan kurikulum, serta peningkatan
kompetensi dan mutu pengajar di Indonesia. Namun dibalik kemajuan itu semua,
masih banyak hal yang kurang dan mesti ada perbaikan berkelanjutan. Pendidikan Indonesia
sepenuhnya belum bisa dikatakan Sukses, mengapa?? Karena kita bisa lihat adanya
kesenjangan antar daerah maju dan tertinggal. Saya ingat ketika mengikuti KKN
(Kuliah Kerja Nyata) selama 45 hari di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, saya
dan teman-teman kelompok menempati sebuah desa yang bernama Desa Lubak Manis. Sebuah
desa yang mayoritas penduduknya hidup dari bertani dan nelayan, serta penduduknya
masih jauh dari pemahaman tentang pendidikan. Kebetulan didesa itu hanya
terdapat satu Sekolah Dasar, dari segi fisik bangunan, sudah sangat memadai. Namun,
dari fasilitas seperti Komputer, Pengeras Suara,dan sebagainya belum ada. Lapangan
sekolah masih terbuat dari tanah liat. Perpustakaan pun masih diisi oleh
buku-buku yang sudah tidak up to date
kata anak-anak zaman sekarang. Dari segi pengajar dan tingkat pendidikan, masih
kurang sekali tenaga pengajar sesuai yang dibutuhkan. Saya sangat terharu
melihat pendidikan anak-anak SD disana. Anak-anak masih sangat kurang terbantu
dengan pendidikan yang memadai. Malahan, ada siswa kelas 6 pun yang belum bisa lancar
membaca dan bahkan berhitung. Hal ini pun yang membuat saya dan teman-teman
Mahasiswa lainnya memiliki gagasan untuk mengadakan Bimbingan Belajar buat
anak-anak SD didesa tersebut. Kami membayangkan kembali usia seperti mereka. Saat
seperti mereka, kami malahan sudah pandai membaca, menulis bahkan sangat peka
dengan teknologi yang ada. Kami berharap dengan adanya Bimbel tersebut,
memungkinkan bisa membantu mereka hingga lancar membaca, memotivasi dan bahkan
bisa membuka pikiran mereka akan pengetahuan.
Selain itu, upacara setiap hari
senin pun masih belum bisa mereka rasakan sepenuhnya. Hampir 3 tahun sudah
tidak pernah upacara. Karena alasan lapangan sekolah yang belum memadai. Hal ini
mengakibatkan, mereka sering salah dalam menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia
Raya” dan Mengheningkan Cipta. Bahkan, baris-berbaris pun tidak mereka tahu. Miris
sekali hati melihat pemandangan seperti ini, kita harusnya sadar akan hak
mereka, bagaimana kita mengajarkan kepada mereka akan cinta tanah air ini
dengan sebenar-benarnya. Bagaimana jadi bila mereka kelak pandai tapi tidak
pandai dalam memaknai pancasila dan cinta tanah air? Kita bisa repot dengan
masalah ini. Pemuda-pemuda seperti mereka seharusnya ditanamkan cinta tanah air
sejak dini. Sudah cukup Negara ini dilanda berbagai permasalahan. Jangan sampai
masalah kedaulatan dan cinta tanah air bisa hilang dari ingatan dan pengetahuan
mereka. Apalagi mereka dekat dengan daerah perbatasan, yang bisa saja
sewaktu-waktu pindah dan menetap dinegeri tetangga yang bisa memperhatikan
mereka dengan lebih baik.
Pemerintah pun pernah berkomitmen
untuk membangun perbatasan menuju arah yang lebih baik. Semoga komitmen ini tidak
hanya komitmen semata tanpa realisasi yang nyata yang bisa dirasakan masyrakat
perbatasan secara langsung. Fakta dilapangan, daerah-daerah perbatasan memang sangat
perlu dibangun, pendidikan adalah kunci dasarnya. Pendidikan perbatasan maju,
maka majulah pembangunan perbatasan.
Kepala desa pun, sempat menyampaikan
harapannya kepada kami selama KKN disana untuk bisa membimbing pemuda-pemuda didaerahnya
agar bisa paham dan memiliki pandangan hidup yang lebih baik lagi. Bagi saya,
saya memaknainya sebagai bagian dari pembangunan karakteristik bangsa terutama
pemuda di bidang pendidikan. Pendidikan itu perlu, apalagi daerah perbatasan. Kita
saat ini sedang dilanda kemunduran karakteristik asli kita sebagai bangsa
Indonesia, Jati diri yang selama ini melekat pada kita. Kita semua harus sadar
akan hal itu, Jangan sampai kata “Indonesia Negeriku” hilang dari benak kita
semua. Mari Kita Bangun dan Kembali, Bung!